Jumat, 19 Juni 2009

PERBEDAAN DALAM USHUL FIQH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERBEDAAN DALAM FURU’ FIQHIYYAH


A. Pendahuluan

Sejarah menunjukkan bahwa Islam pernah mencapai sebuah kejayaan dalam peradaban dan keilmuan. Ini dibuktikan dengan perkembangan keilmuan yang sangat dahsyat pada masa-masa tersebut. Salah satu keilmuan yang mencapai puncaknya adalah hukum Islam (fiqh). Munculnya berbagai madzhab dalam bidang fikih menjadi sebuah fenomena yang menunjukkan begitu terbukanya keilmuan Islam pada saat itu sehingga setiap pakar hukum Islam (fuqaha’) memiliki kemampuan dan hak untuk berbeda dengan pakar yang lain, sekalipun guru mereka sendiri. Imam asy-Syafi’i yang merupakan salah satu murid terbaik Imam Malik pun berbeda pendapat dengan gurunya sendiri, dan pada akhirnya pendapat keduanya mewakili dua madzhab yang berbeda. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu murid terbaik dari Imam Syafi’i, dan ia berbeda pendapat dengan gurunya. Pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal pun akhirnya menjadi sebuah madzhab yang mandiri.[1]

Yang perlu dicermati dari fakta di atas adalah bahwa tidak ada yang merasa bahwa pendapatnya adalah yang paling benar, sedangkan pendapat orang lain adalah salah. Bahkan salah satu ungkapan asy-Syafi’i yang sangat masyhur adalah;”Pendapatku benar dan memungkinkan salah, sedangkan pendapat orang lain salah dan memungkinkan benar”.[2]

Hanya saja perbedaan ini pada masa-masa selanjutnya memunculkan perpecahan di antara umat Islam yang sebagian di antaranya masih berlanjut sampai saat ini. Perpecahan yang pada mulanya berawal dari perbedaan dalam bidang fikih bahkan berkembang menjadi perpecahan sosial. Salah satu penyebab terjadinya perpecahan yang berawal dari perbedaan pendapat tadi karena masing-masing pengikut madzhab merasa bahwa pendapat madzhabnya adalah yang paling benar. Dan ini terjadi karena para pengikut madzhab tidak lagi mengikuti metode para imamnya yang mengambil pendapat hukum dari sumber aslinya, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi memilih untuk mengambil pendapat hukum dari kitab-kitab fikih dalam madzhabnya sendiri dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak dapat berubah lagi. Masa inilah yang dikenal dengan masa taklid dan jumud (stagnan).[3] Dan ini berlanjut sampai awal abad dua puluh dengan munculnya para pembaharu pemikiran Islam yang menyerukan ummat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan meninggalkan sikap bermadzhab.

Akan tetapi, di samping ajakan untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak bermadzhab ini mendapat sambutan dari ummat Islam, sikap bermadzhab yang sudah terbentuk selama berabad-abad pun masih tetap ada dan berkembang. Pada akhirnya, baik sikap untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tidak bermadzhab maupun sikap untuk tetap bermadzhab membentuk dua kutub yang saling berlawanan.

Fenomena tersebut mengharuskan adanya sikap yang lebih arif untuk melihat adanya berbagai perbedaan, baik antar para penganut madzhab yang berbeda maupun antara penganut madzhab dengan penganut sikap tidak bermadzhab. Dan salah satu upaya untuk bisa mengetahui sebab adanya perbedaan dalam bidang fikih yang kemudian diharapkan bisa menimbulkan sikap yang arif dalam menghadapi perbedaan tersebut adalah dengan mengetahui metode istimbath hukum dari masing-masing. Karena salah satu penyebab perbedaan dalam bidang furu’ fikih adalah adanya perbedaan dalam ushulnya.

B. Penyebab Perbedaan Pendapat

Perbedaan dalam bidang furu’ pada hakekatnya sudah ada sejak masa sahabat. Akan tetapi perbedaan ini sifatnya sangat terbatas. Oleh karena itu perbedaan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik. Setelah daerah kekuasaan islam meluas dan para sahabat tidak lagi berada pada satu tempat dan menyebar ke beberapa daerah kekuasaan Islam yang baru, maka masing-masing sahabat dengan perbedaan kemampuan dan pengetahuan masing-masing menghasilkan produk ijtihad yang berbeda-beda pula. Inilah yang menambah kawasan perbedaan dalam bidang furu’ semaki meluas. Puncaknya adalah dengan terbentuknya berbagai madzhab dalam bidang fikih yang sebagian di antaranya masih bertahan sampai saat ini.[4]

Karena beragamnya penyebab perbedaan dalam bidang furu’, diperlukan klasifikasi yang jelas untuk mengetahui secara detail penyebab terjadinya perbedaan tadi.

Mushtafa Sa’id al-Khin dalam bukunya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawai’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ berusaha meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan ulama dalam bidang fikih. Dan ia mengklasifikasikan penyebab-penyebab tadi dalam beberapa hal:

  1. Penyebab perbedaan yang bersifat umum
  2. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah
  3. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Ijma’ dan Qiyas
  4. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dalil-dalil yang diperselisihkan.[5]

Dalam hal ini akan dipaparkan secara singkat dua bagian pertama penyebab perbedaan tersebut sebagai sebuah gambaran tentang adanya pengaruh perbedaan dalam ushul fiqh dan kaidah ushuliyah terhadap perbedaan furu’.

a. Penyebab Perbedaan yang Bersifat Umum

Menurut al-Khin penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam bidang fikih secara umum banyak sekali, akan tetapi yang dianggapnya penting ada beberapa macam.[6] Di antaranya adalah:

1. Perbedaan dalam qira’at.

Perbedaan qira’at dalam pembacaan al-Qur’an merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam bidang fikih. Salah satu contohnya adalah perbedaan ulama’ tentang kewajiban pada kaki ketika berwudhu, apakah dibasuh ataukah diusap. Penyebab perbedaan adalah adanya ayat al-Qur’an yaitu surat al-Ma’idah ayat 6 yang berisi tentang tata cara berwudhu yang oleh sebagian ulama’ (dalam hal ini diwakili Jumhur ulama’) kata-kata arjul (kaki) pada ayat itu dibaca nashab sehingga terbaca wa arjulakum, dan oleh sebagian yang lain (diwakili oleh ulama Syi’ah Imamiyah) dibaca dengan jar, wa arjulikum. Pengaruhnya dalam fikih adalah apabila ayat tadi dibaca dengan nashab, maka dalam berwudhu kaki harus dibasuh, sedangkan apabila dibaca dengan jar, maka dalam berwudhu kaki harus diusap bukan dibasuh.[7]

2. Ketidaktahuan adanya hadis dalam masalah

Pengetahuan para sahabat Nabi SAW dalam masalah hadis tidaklah berada pada satu tingkatan, akan tetapi berbeda-beda. Sebagian mengetahui banyak hadis, sedangkan sebagian yang lain bahkan hanya mengetahui satu atau dua buah hadis saja. Hal ini karena ketika seorang sahabat tidak selamanya mendengar seluruh ucapan Nabi SAW atau menyaksikan seluruh aktifitasnya. Adakalanya dia mendengar sebuah hadis yang tidak didengar oleh sahabat lain. Dan sebaliknya dia juga mungkin tidak mendengar hadis yang diketahui oleh sahabat lain.

Hal inilah yang menjadikan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat, yakni tidak sampainya informasi tentang adanya hadis dalam sebuah masalah.

Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hal ini adalah bahwa Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas pernah berfatwa bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa ‘iddah (tunggu) nya adalah masa yang paling lama antara masa melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Mereka belum menerima informasi tentang fatwa Nabi SAW bahwa masa tunggu wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan.[8]

3. Perbedaan dalam Memahami dan Menafsirkan Teks

Salah satu sebab perbedaan yang lain adalah adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sebuah teks, baik itu berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah. Salah satu contohnya adalah kasus pembagian tanah hasil rampasan perang. Umar ibn al-Khaththab berpendapat bahwa tanah hasil rampasan perang itu tetap berada di tangan pemiliknya dan dalam pemeliharaannya. Hanya saja, tanah tadi dikenai pajak yang dapat dipakai untuk kepentingan ummat Islam di setiap masa dan generasi.

Pandangan Umar yang seperti ini didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfal dan ayat 6 – 10 surat al-Hasyr. Umar memahami kandungan ayat-ayat tadi bahwa harta rampasan perang yang tidak bergerak tidak dibagikan pada tentara perang, akan tetapi dikuasai oleh negara dan dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Sedangkan para sahabat yang lain berpendapat bahwa tanah rampasan perang sebagai mana barang bergerak, juga harus dibagikan layaknya harta rampasan perang yang lain. Pendapat kedua ini juga didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfal serta tindakan Rasulullah yang juga pernah membagi tanah hasil rampasan perang. Ayat yang dipakai oleh Umar untuk mendukung pendapatnya, menurut para sahabat yang lain, adalah berbicara tentang dua hal yang berbeda, yaitu harta ghanimah dan fai’. Dan kedua macam harta ini tetap dibagikan pada para tentara perang tidak seperti keputusan yang dibuat Umar.[9]

4. Adanya lafadz yang musytarak

Dalam bahasa Arab terdapat berbagai bentuk kata yang menunjukkan pada makna tertentu. Salah satunya adalah kata atau lafadz musytarak. Musytarak berarti sebuah kata yang memiliki dua makna atau lebih, dan terkadang saling berlawanan, misalnya kata al-jun yang bisa berarti putih dan juga hitam. Dan dalam al-Qur’an dan al-Hadis juga terdapat beberapa lafadz yang musytarak. Dan ini menhjadi salah satu sebab munculnya perbedaan pendapat di antara para ulama. Misalnya adalah kata al-qur’u yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 228. Kata tersebut memiliki makna ­haidh dan juga bermakna suci. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa wanita-wanita yang dicerai suaminya, maka ‘iddah (masa tunggu)-nya adalah tiga kali quru’. Dan semua ulama sepakat akan hal ini. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna quru’ yang adal dalam ayat terssebut. ‘Aisyah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, Malik. Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lain mengartikan qur’ dalam ayat tersebut bermakna suci. Artinya, mereka berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya memiliki masa tunggu (‘iddah) tiga kali suci. Sedangkan Abu Bakr, Umar, Utsman dan sebagian Abu Hanifah berpendapat bahwa qur’ dalam ayat tersebut berarti haidh. Artinya, mereka berpendapat bahwa masa tunggu wanita yang ditalak adalah tiga kali haidh.[10]

5. Adanya pertentangan dalil (ta’arudh al-adillah)

Salah satu sebab lain yang menjadikan terjadinya perbedaan pendapat antar ulama adalah adanya pertentangan antar dalil (ta’arudh al-adillah) yang menjadikan satu ulama mengunggulkan satu dalil yang menurut ulama’ lain justru merupakan dalil yang lemah. Pertentangan antar dalil yang sebenarnya hanya ada pada pikiran para ulama’ memang berusaha untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. Hanya saja, masing-masing ulama memiliki cara yang berbeda dalam mencari jalan keluarnya. Ini pula yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat.

Contohnya adalah perbedaan di antara ulama tentang tata cara tayammum. Madzhab Hambali berpendapat bahwa tayammum cukup dilakukan dengan sekali tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan.[11] Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ammar binYasir yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan contoh kepadanya dalam melakukan tayammum. Nabi mengusapkan tangannya ke tanah dan memakainya untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan.[12] Sedangkan Madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan bahwa tayammum dilakukan dengan dua kali tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan.[13] Dasar yang dipakai adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda:”Tayammum itu dengan dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai ke siku.”[14]

Perbedaan tersebut terjadi karena adanya dua dalil yang berbeda dan nampak bertentangan dan masing-masing ulama menguatkan satu hadis yang menurut ulama lain justru lemah.

b. Penyebab Perbedaan karena Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Kaidah ushuliyah merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan di antara para ulama. Sebagian dari kaidah-kaidah tersebut berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagian lagi berkaitan dengan al-Qur’an saja, dan sebagian lain berkaitan dengan as-Sunnah saja. Di antara kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan al-Qur’an saja yang menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan adalah perbedaan ulama tentang nama al-Qur’an. Apakah al-Qur’an merupakan nama untuk kandungan isinya saja ataukah merupakan nama untuk isi dan susunan katanya.

Sebagian ulama –dalam satu riwayat disebutkan bahwa ini adalah pendapat Abu Hanifah- berpendapat bahwa kata al-Qur’an hanya dipakai untuk menyebut isi kandungan maknanya saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’an adalah nama untuk susunan kata dan maknanya sekaligus.

Implikasi perbedaan dalam hal ini pada bidang fikih adalah adanya perbedaan pendapat tentang kebolehan shalat dengan bahasa selain Arab. Abu Hanifah -ulama yang diriwayatkan menganut pendapat pertama- membolehkan shalat dengan membaca al-Fatihah dengan selain bahasa Arab, karena yang terpenting bukan lah bahasa yang dipakai al-Qur’an akan tetapi makna yang akan dicapainya. Sedangkan jumhur ulama –sebagai penganut pendapat yang kedua- berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah harus dengan bahasa Arab karena yang dinamakan al-Qur’an bukan hanya maknanya saja, akan tetapi juga susunan kataya yang berupa bahasa Arab.[15] Implikasi yang lain adalah perbedaan tentang tarjamah al-Qur’an. Bagi penganut pendapat pertama tarjamah al-Qur’an memiliki status sama dengan al-Qur’an seperti tidak boleh disentuh dan dibaca oleh orang yang dalam keadaan junub, dsb. Sedangkan penganut pendapat kedua menganggap bahwa tarjamah al-Qur’an bukanlah al-Qur’an, akan tetapi tarjamah makna al-Qur’an.

Kaidah lain yang berkaitan dengan al-Qur’an adalah tentang qira’ah syadzdzah, yaitu bacaan al-Qur’an yang tidak diriwayatkan melalui jalur mutawatir. Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qira’ah syadzdzah. Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi berpendapat bahwa qira’ah syadzdzah dapat diapaki sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Sedangkan madzhab Syafi’i berpendapat tentang ketidakabsahan qira’ah syadzdzah sebagai salah satu dalil penetapan hukum.[16]

Implikasinya pada furu’ fiqhiyyah ada beberapa hal, diantaranya adalah apabila seseorang tidak berpuasa pada bulan ramadhan secara berturut-turut dikarenakan suatu alasan, maka apakah dia harus menqadha puasa tadi secara berurutun juga ataukah boleh secara terpisah-pisah.

Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi mengatakan bahwa dia harus menqadhanya secara berurutan pula. Dasarnya adalah adanya qira’ah syadzdzah yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b yang menambahkan kata-kata mutatabi’at dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang berbunyi: “Fa ‘Iddatun Min Ayyam Ukhar”. Sedangkan madzhab Syafi’i membolehkan menqadha puasa tersebut dengan terpisah-pisah karena menganggap bahwa qira’ah Ubay bin Ka’b tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil.[17]

Sedangkan kaidah yang berkaitan dengan as-Sunnah terdapat banyak sekali. Diantaranya adalah tentang kehujjahan hadis mursal yaitu hadis yang terputus salah satu mata rantai perawinya di kalangan sahabat.[18] Asy-Syafi’i tidak dapat menerima hadis mursal sebagai sebuah dalil karena dianggap sudah cacat, sedangkan Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai dalil penetapan hukum karena menganggap bahwa tidak mungkin seorang tabi’in berbohong dalam meriwayatkan sebuah hadis. Jadi, terputusnya rantai periwayatan pada kalangan sahabat tidak menjadikan cacat pada status hadis tersebut.[19]

Implikasinya pada bidang furu’ fikih banyak sekali, diantaranya adalah tentang batalnya wudhu karena bersentuhan dengan yang berlainan jenis. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mencium salah satu isterinya dan kemudian melakukan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.[20] Sedangkan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan itu membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah al-Qur’an ayat 6 surat al-Ma’idah. Sedangkan hadis yang dipakai oleh Madzhab Hanafi sebagai dalil tidak dapat diterima oleh asy-Syafi’i karena hadis tersebut adalah mursal.[21]

C. Urgensi Pengetahuan akan Sebab Perbedaan dalam Konteks Kekinian

Pengetahuan akan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat untuk saat ini sangatlah dibutuhkan. Terjadinya banyak benturan di masyarakat diantaranya adalah karena informasi yang sampai pada mereka adalah tentang adanya perbedaaan semata, tidak tentang sebab terjadinya perbedaan. Hal ini pada akhirnya menjadikan sebagian besar dari mereka tidak bisa memahami perbedaan sebagai sebuah perbedaan metode pemahaman atas teks. Perbedaan pendapat dalam fikih dianggap sebagai perbedaan keyakinan yang menjadikan sebagian mereka berhak untuk memberikan label “sesat” pada sebagian yang lain.

Pada kasus di Indonesia misalnya, sudah menjadi bukan rahasia rahasia lagi bahwa ada sebagian masyarakatnya yang melaksanakan tarawih di bulan ramadhan dengan 8 raka’at, dan ada sebagian yang melakukannya dengan 20 raka’at. Dalam melaksanakan shalat, ada yang mengeraskan bacaan basmalah dan ada yang tidak mengeraskannya atau bahkan tidak membacanya sama sekali. Perbedaan seperti ini, di masyarakat akar rumput sering menimbulkan permasalahan, menjadikan salah satu kelompok tidak bersedia shalat berjama’ah atau bekerja sama dengan kelompok lain yang tidak sependapat. Perbedaan tersebut tidak lagi menjadi perbedaan furu’ fiqhiyyah, akan tetapi dianggap sebagai perbedaan ideologi, akidah dan keyakinan yang menjadikan sebagiannya berhak “menyesatkan” sebagian yang lain.

Oleh karena itu sudah menjadi tugas kalangan intelektual di masing-masing organisasi keagamaan sosial di Indonesia untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang praktek-praktek keagamaan yang ada, memberikan informasi, keilmuan dan pengetahuan benar dengan melihat setiap masalah dari sisi yang berbeda-beda dan beragam sehingga memungkinkan adanya pemahaman dan sikap yang arif dalam menghadapi perbedaan pendapat.

Masyarakat Indonesia yang homogen menuntut setiap orang mengetahui dasar pemikiran dan pemahaman orang lain dan bisa mensikapinya dengan lebih baik, tidak mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya dan selalu luput dari orang lain. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bisa bergaul, berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda pendapat termasuk dalam pemahaman keagamaan. Dan pengetahuan dan pemahaman tentang sebab perbedaan merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan sebuah masyarakat masa kini yang bisa saling memahami adanya perbedaan, saling menghormati dan bekerja sama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddini, Shifah Shalah an-Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996)

Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

Al-Asyqar, ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Aljazair: Qashr al-Kitab, t.t)

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t)

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t)

Khin, Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996)

Mubaraok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)

Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ar-Razi, Fakhruddin, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t)

Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

------------------, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000)

Az-Zaila’I, Nash bar-Rayah. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Az-Zamakhsayari, al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986)



*) Penulis adalah Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta

[1] Penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi ilmiah yang ada pada masa itu dan ciri-ciri perkembangan hukum Islamnya lihat pada ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Aljazair: Qashr al-Kitab, t.t), hlm. 86-108.

[2] Al-Albani mengumpulkan pendapat para imam madzhab tentang kemungkinan kesalahan pendapat pribadi mereka dan keharusan berpegang pada sumber utama hukum Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tidak bersikap fanatis pada madzhab tertentu. Lihat dalam Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shifah Shalah an-Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996), cet. 2, hlm. 46-55.

[3] ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh, ibid. hlm. 109 dst.

[4] Lihat juga penjelasannya dalam Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. 2, hlm. 67 dst.

[5] Lihat Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996), cet. 6, hlm. 38 dst

[6] al-Khin menyebutkan ada delapan sebab, yaitu 1. Perbedaan dalam qira’at, 2. Tidak adanya informasi adanya hadis dalam masalah, 3. Ragu terhadap keabsahan hadis, 4. Berbeda dalam memahami dan menafsirkan teks, 5. Adanya lafadz yang musytarak (ambivalen), 6. Pertentangan antar dalil 7. Tidak adanya dalil dalam masalah dan 8. Berbeda dalam kaidah ushuliyah. Lihat ibid.

[7] lihat ath-Tahabari, Tafsir ath-Thabari, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000), X/52., al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), VI/ 92 dst., az-Zamakhsayari, al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t) II/ 326.

[8] Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), VI, hlm. 182-183., Muhammad Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 48.

[9] Ibid. hlm. 65.

[10] Lihat Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV, hlm. 178-198, Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), II, 256-257, al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), III, hlm. 194-195.

[11] Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t), VII/244.

[12] H.R. Bukhari dan Muslim no. 368.

[13] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), I/70

[14] Hadis-hadis tentang hal ini lihat dalam az-Zaila’I, Nash bar-Rayah. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 150 dst..

[15] Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 380. Lihat juga dalam Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), juz I/423.

[16] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh,I/426.

[17] Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 395, Ibn Qudamah, al-Mughni, III/136, asy-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV/198.

[18] Lihat definisi hadis mursal dan perbedaan pendapat dalam hal ini dalam al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), I/203, asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 64.

[19] Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 398.

[20] Hadis ini diriwayatkan oleh Ibrahim at-Taimi dari ‘Aisyah r.a dan Ibrahim at-Taimi diketahui belum pernah mendengar (meriwayatkan) hadis dari ‘Aisyah. Ibid. 408.

[21] Ibid. hlm. 407-408.

PAKAIAN WANITA MUSLIM (Studi atas Pemikiran Hukum Muhammad Syahrūr)

PAKAIAN WANITA MUSLIM

(Studi atas Pemikiran Hukum Muhammad Syahrūr)


Di dalam hukum Islam kita mengenal adanya hukum tentang berpakaian baik bagi wanita maupun laki-laki muslim yang dikenal dengan hukum menutup aurat.[1] Mayoritas ahli fiqh membagi hukum menutup aurat ini dalam tiga kondisi, yakni ketika di hadapan sesama jenis dan muhrimnya, ketika shalat, dan ketika di hadapan yang bukan muhrimnya. Aurat laki-laki yang wajib ditutupi dalam ketiga kondisi tersebut adalah anggota badan antara pusar dan lutut. Sedangkan bagi wanita terdapat perbedaan dalam tiga kondisi tersebut. Aurat wanita pada kondisi pertama adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut, pada kondisi kedua adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan, dan pada kondisi ketiga adalah seluruh tubuhnya.[2] Dari sinilah kemudian muncul pemakaian jilbab maupun purdah bagi wanita muslimah yang kita kenal sampai saat ini. Dalam hal ini, kami tertarik untuk memaparkan pendapat Muhammad Syahrūr, seorang pemikir dari Syria, yang berusaha untuk melakukan definisi ulang terhadap makna aurat dan meletakkan batas-batas baru pakaian wanita muslim.

A. Biografi Muhammad Syahrūr

Muhammad Syahrūr bin Dīb lahir di perempatan Şālihiyyah Damaskus pada tanggal 11 April 1938. Pendidikan dasarnya meliputi ibtidā’iyah (SD), i’dādiyah (SLTP), dan śanawiyah (SLTA) yang ditempuhnya di Madrasah Abd ar-Rahman al-Kawakibi Damaskus, dan berhasil diselesaikannya pada tahun 1957. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, pada bulan Maret 1958 Syahrūr dikirim oleh pemerintah ke Uni Soviet untuk menempuh studi Teknik Sipil di Moskow. Ia mendapatkan gelar diploma dari sana pada tahun 1964, kemudian dia ditunjuk sebagai asisten dosen di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus pada tahun 1965.[3]

Tidak lama setelah mengajar di Universitas Damaskus, dia lalu diutus oleh Universitas Damaskus ke Dublin, Irlandia untuk menempuh Program Magister dan Doktor di bidang Teknik Sipil khususnya dalam hal perminyakan (soil mechanics) dan tehnik bangunan (foundation engeenering).[4] Program studi magister di University College Dublin Irlandia ini diselesaikannya pada tahun 1969, sedangkan program doktoralnya diselesaikan pada tahun 1972. Pada waktu di Irlandia inilah Syahrūr mulai menyusun bukunya al-Kitāb wa al-Qur’ān, Qirā’ah Muāşirah.

Setelah memperoleh gelar doktor, Syahrūr diangkat sebagai dosen di Fakultas Tehnik Sipil di Universitas Damaskus sejak 1972.

Selain ahli di bidang tehnik sipil, Syahrūr juga menguasai bahasa Inggris dan bahasa Rusia. Syahrūr juga mempunyai minat mempelajari filsafat bahasa dan linguistik. Dia membuka perpustakaan tehnik dengan teman-temannya pada tahun 1972 dan melakukan berbagai aktifitas teknikal di perpustakaan yang dinamakan Dār al-Istisyārāt al-Handasiyah tersebut.

Syahrūr merupakan tokoh yang terbilang baru dalam kancah pemikiran Islam. Hal ini karena ia pendidikan formal yang dijalaninya adalah pada ilmu umum. Dan ia baru muncul dalam peta pemikir Islam di dunia Arab dan Islam setelah menerbitkan buku pertamanya. Aktifitas yang ia jalani sampai saat ini, selain menulis buku adalah menghadiri berbagai seminar keislaman di berbagai negara. Media cetak mungkin adalah satu-satunya sarana yang dipakai oleh Syahrūr untuk menyebarkan berbagai pemikirannya. Hal ini, sebagaimana dikatakan Andreas Christmann, karena kurangnya kesempatan untuk melayani para lawannya melalui mimbar agama, pengajian di Masjid, jurnal Islam, atau program televisi. Ini membuat Syahrūr, sebagaimana layaknya orang yang berasal dari luar kemudian masuk dalam daerah ajaran Islam, tidak memiliki media untuk mempublikasikan dan menyebarkan gagasan-gagasannya dan terlibat dalam kancah perdebatan publik kecuali melalui media cetak (penerbitan buku).[5]

B. Karya-karya Syahrūr

Muhammad Syahrūr menelurkan berbagai karya baik di bidang yang menjadi spesifikasi pendidikan, maupun di bidang keislaman yang ia geluti juga selama ini. Di bidang tehnik ia mengarang dua buah buku; Handasah al-Asāsiyah yang terdiri dari tiga juz dan Handasah at-Turābiyah dalam satu juz. Dalam bidang keislaman, selain aktif menulis artikel di beberapa jurnal dan majalah, ia juga telah menghasilkan berbagai karya yang kontroversial, diantaranya adalah pertama, al-Kitāb wa al-Qur’ān, Qirā’ah Mu’āşirah, kedua, Dirāsāt Islāmiyah Mu’āşirah fi ad-Daulah wa al-Mujtamā’, ketiga, al-Islām wa al-Imān, Manzūmah al-Qiyām, dan yang terakhir sepengetahuan penulis adalah Nahw Uşūl al-Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmi, Fiqh al-Mar’ah. Keempat buku tersebut diterbitkan oleh Dār al-Ahālī masing-masing pada tahun 1990, 1994, 1996, dan 2000. Selain menerbitkan empat buku karyanya yang merupakan bagian dari sebuah seri penerbitan yang disebutnya “Studi Islam Kontemporer” (Dirāsāt Islāmiyyah Mu’āşirah) tadi, dia juga telah menerbitkan sebuah boklet kecil yang diberi judul Masyrū’ Mīśāq ‘Amal al-Islāmī, dan sejumlah artikel di surat kabar. Di antara artikel itu adalah; al-Harakat al-Libarāliyyah Rafadhat al-Fiqh wa Tasyrī’ātiha wa Lakinnahā Lam Tarfudh al-Islām Ka Tauhīd wa Risālah Samāwiyah (Gerakan Liberal telah Menolak Fiqh dan Hukum Islam, tetapi ia tidak menolak Islam sebagai Agama Tauhid dan Risalah Langit) dalam Akhbār al-‘Arab al-Khalījiyyah, no. 20, 16 Desember 2000, al-Harakah al-Islāmiyyah Lan Tafuz bi al-Syar’iyyah illa Iżā Ţarahat Nadzariyah Islāmiyyah Mu’āşirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama’ (Gerakan Islam hanya akan Memperoleh Legalitas jika Mereka Mengajukan Sebuah Teori Islam Kontemporer tentang Negara dan Masyarakat) dalam Akhbār al-‘Arab al-Khalījiyyah, no. 21, 17 Desember 2000, dsb. Baru-baru ini, sebagai hasil dari tumbuhnya perhatian dan minat atas karya-karyanya dari luar Syria, dia telah mulai menggunakan keping compact disk sebagai media baru untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.[6]

C. Mengenal Konsep dan Teori Muhammad Syahrūr

Konsep Syahrūr tentang al-Qur’an

Dalam bukunya al-Kitāb wa al-Qur’ān, Syahrūr membagi al-Kitāb (al-Qur’an dalam istilah kita) sebagaimana terdapat dalam surat Ali Imran: 7 dan surat Yunus: 37 menjadi tiga macam, yaitu:

1. Ayat-ayat muhkamāt

2. Ayat-ayat mutasyābihāt

3. Ayat-ayat lā muhkamāt wa lā mutasyābihāt

Ayat-ayat muhkamāt adalah sekumpulan hukum yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengatur tentang tata cara perilaku kehidupan manusia. Di dalamnya termuat aturan-aturan tentang peribadatan, mu’amalah, akhlak dan hal-hal lain yang membedakan antara yang halal dan yang haram.[7] Dari definisi ini dapat diketahui bahwa ayat-ayat muhkamāt sangat terkait dengan konsep risālah, oleh karena itu ayat-ayat muhkamāt tidak lain adalah representasi dari kerasulan Muhammad SAW. Menurut Syahrūr ayat-ayat muhkamāt dalam al-kitab disebut dengan umm al–kitāb.[8]

Umm al–Kitāb sebagai representasi dari risalah Muhammad SAW mencakup hal-hal sebagai berikut:[9]

  1. Aturan-aturan (al-hudūd) yang berhubungan dengan ibadah.
  2. Al-furqān baik yang umum maupun yang khusus (al-waşāyā).
  3. Hukum-hukum yang bersifat temporal (marhaliah)
  4. Hukum-hukm yang bersifat kondisional (dzarfiah).
  5. Ajaran-ajaran yang umum yang tidak termasuk dalam hukum syar’i yang tertuang dalam uangkapan “yā ayyuhā an-nabiyyu”.
  6. Ayat-ayat khusus bagi Nabi.
  7. Larangan-larangan yang masuk dalam lapangan ijtihad kecuali hudūd dan ibadah.

Ayat-ayat mutasyābihāt adalah kumpulan dari kebenaran (al-haqāiq) yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang sebagian besarnya memuat hal-hal yang ghaib di luar kesadaran manusia. Dari sana dapat dibedakan antara yang haq dan yang bāţil.[10] Ayat-ayat mutasyābihāt merupakan representasi dari nubuwwah Muhammad SAW. Menurut Syahrūr, ayat-ayat mutasyābihāt tediri dari dua kelompok besar yaitu sab’ al-maśānī dan al-Qur’ān al-‘Adzīm. Ciri utama dari ayat mutasyābihāt adalah pada bentuk dan kandungannya. Ayat mutasyābihāt selalu berbentuk khabariyah (kalimat berita) dan sama sekali tidak memuat larangan-larangan dan perintah-perintah.[11] Ayat-ayat al-Qur’an muncul dengan pemberitaan-pemberitaan tentang surga dan neraka, janji dan ancaman, hari perhitungan dan hari kebangkitan, penciptaan dan perkembangan serta aturan-aturan umum yang teratur tentang alam dan sejarah.[12] Karena hal-hal yang terkandung dalam al-Qur’an seperti itu dan karena al-Qur’an diturunkan oleh Allah dalam satu kali penurunan, maka menurut Syahrūr ayat-ayat al-Qur’an tak satupun yang mempunyai asbāb an-nuzūl. Asbāb an-nuzūl menurut Syahrūr hanya terdapat pada umm al-kitāb dan tafşīl al-kitāb.[13] Ayat-ayat mutasyābihāt pada awalnya berfungsi sebagai bukti atas kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan selain itu juga sebagai penjaga (al-haimanah) dari pengrusakan dan perubahan.[14]

Adapun ayat yang dikategorikan sebagai ayat-ayat lā muhkamāt wa lā mutasyābihāt menurut Syahrūr dalam al-Kitāb dikenal dengan istilah tafşīl al-kitāb. Penamaan ayat ini dengan tafşīl al-kitāb, menurut Syahrūr didasarkan pada surat Yunus: 37. Ayat-ayat yang tergolong dalam tafşīl al-kitāb menurut Syahrūr mempunyai dua bentuk. Pertama, ayat-ayat yang befungsi sebagai penjelasan (asy-syarh) baik bagi umm al-kitāb maupun untuk al-Qur’an. Kedua, ayat-ayat yang berfungsi sebagai pemisah (tafşīl), baik pemisah dari segi waktu maupun tempat.[15] Ciri-ciri ayat-ayat yang masuk kategori tafşīl al-kitab adalah seperti yang ada dalam ayat mutasyabihat di atas, yaitu bersifat ikhbāriyah dan ta’līmiyyah. Dari ciri ini dapat diketahui bahwa tafşīl al-kitāb juga merupakan representasi dari fungsi nubuwwah dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan fungsi risalah karena di dalamnya tidak ditemui ayat-ayat hukum yang berisi perintah, larangan, dan nasehat.[16]

Teori Hudūd Syahrūr

Salah satu temuan Syahrūr yang paling populer dalam pemikiran hukum Islam adalah Teori Batas (Nadzariyyah al-Hudūd/Theory of Limits). Ia mengatakan bahwa risalah Muhammad tidak akan mungkin dipahami sebagai sebuah risalah yang berlaku sepanjang masa dan di semua tempat kecualai apabila kita memahami dua elemen di dalamnya yang integral tapi paradoksal. Kedua elemen itu ialah hanīf atau hanīfiyyah (elastis, lengkung) dan mustaqīm atau istiqāmah (statis, lurus). Hanīf menurut Syahrūr berarti condong, lengkung sebagaimana terdapat dalam surat al-An’ām ayat 79 yang disebutkan bahwa hukum yang terjadi di alam adalah hanīf. Artinya bahwa karakteristik dari langit, bumi dan seluruh wujud empiris di dunia ini adalah melengkung dan berubah. Dari segi gerak, menurut Syahrūr tidak akan ditemui gerak lurus di alam ini dimulai dari elektron terkecil sampai galaksi terbesar. Oleh karena itulah maka Allah menjadikan sifat hanīfiyyah ini sebagai sifat dasar dari realitas empirik.[17] Hukum Islam bersifat musţaqīm sebagai batas-batas (hudūd) ketetapan Allah, akan tetapi bisa berubah (hanīf) selama masih dalam batas-batas tersebut. Dengan dua sifat inilah maka hukum Islam akan menjadi hukum yang şālih li kulli zamān wa makān. Dan dengan menggabungkan kedua elemen tadi dengan teori matematik Newton, Syahrūr kemudian menelurkan Teori Batasnya. Teori matematik Newton merupakan ilmu matematik yang menggabungkan antara faktor yang mengikuti perubahan yang disimbulkan dengan “Y” dengan faktor yang selalu berubah yang disimbulkan dengan “x” apabila hanya terdiri dari satu faktor, dan dengan “x,z” apabila terdiri dari dua faktor. Hubungan kedua faktor tadi membentuk sebuah rumus: Y = f (x) dan Y = f (x,z). Hubungan kedua faktor tadi kemudian menelurkan berbagai bentuk yang oleh Syahrūr kemudian diringkas manjadi enam.

a. Posisi batas minimal (diterapkan dalam mahram dan makanan)

b. Posisi batas maksimal (diterapkan dalam hukuman terhadap pembunuh dan pencuri)

c. Posisi batas maksimal dan minimal dengan bersama-sama (diterapkan dalam waris, poligami, dan pakaian)

d. Posisi lurus, tidak memiliki batas minimal dan maksimal (diterapkan dalam had bagi pezina)

e. Posisi batas maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tanpa ada persentuhan sama sekali, kecuali pada wilayah yang tak terhingga (diterapkan pada masalah hubungan antara laki-laki dengan perempuan)

f. Posisi batas maksimal positif dan tidak boleh melampaui batas itu, serta posisi batas minimal negatif yang biperbolehkan untuk melampauinya (diterapkan pada hubungan kebendaan dan harta antara sesama manusia. Dua batas akhir termuat dalam riba sebagai batas maksimal positif dan zakat sebagai batas minimal negatif).

D. Pakaian Wanita Muslim dalam Pandangan Syahrūr

Syahrūr mengatakan bahwa aturan tentang pakaian ini terdapat dalam dua ayat hudūdiyah, yakni ayat 30-31 surah an-Nur;

{قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهرمنها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن......} (النور: 31-32)

Kedua ayat ini, menurut Syahrūr mengandung dua perintah yang berlaku bagi laki-laki maupun wanita muslim secara sama. Perintah pertama adalah untuk menundukkan “sebagian” pandangannya. Ayat tersebut tidak menyebutkan obyek yang diharuskan bagi laki-laki atau wanita untuk menundukkan sebagian pandangannya darinya yang menandakan bahwa hal itu terbuka bagi interpretasi sesuai dengan tempat dan masa. Perintah kedua adalah untuk memelihara kemaluan dari zina.[18] Dari sinilah kemudian Syahrūr menjadikan batas minimal pakaian bagi laki-laki, yakni menutup kemaluannya saja. Sedangkan untuk menjelaskan batas minimal pakaian bagi wanita, Syahrūr terlebih dahulu membahas tentang makna zīnah (perhiasan) dan ‘aurat yang terdapat dalam al-Qur’an.

Perhiasan wanita, sesuai dengan ayat di atas terbagi menjadi dua, yaitu perhiasan yang nampak dan yang tidak nampak (tersembunyi). Sedangkan perhiasan itu sendiri, oleh Syahrūr dibagi menjadi tiga macam. Pertama, Zīnah al-Asyyā’. Ini meliputi segala sesuatu yang diletakkan pada anggota badan atau tempat tertentu sebagai hiasan. Ayat yang menjadi dasar kategori ini adalah an-Nahl: 8 dan al-A’raf: 31. Kedua, Zīnah al-Mawāqi’ atau az-Zīnah al-Makāniyah. Ini meliputi semua yang merupakan tempat yang dimaksudkan sebagai keindahan, misalnya pelataran perkantoran yang dibuat hijau baik secara alami maupun dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan. Dan zīnah yang ada dalam surah an-Nur: 31 harus dipahami dalam pengertian kategori kedua ini. Ketiga, Zīnah al-Makāniyah wa asy-Syai’iyah. Kategori ini terdpat dalam al-A’raf: 32 dan Yunus: 24.[19]

Lebih lanjut Syahrūr mengatakan bahwa apabila pengertian zīnah yang ada dalam an-Nur: 31 merupakan zīnah makāniyah, maka yang dimaksud zīnah bagi wanita bukanlah perhiasan yang ia pakai, akan tetapi tubuh wanita itu sendiri. Sedangkan tubuh itu sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, bagian tubuh yang nampak sejak awal penciptaannya (ظاهر بالخلق)

ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها......

Ayat ini mengandung pengertian bahwa ada zīnah yang tersembunyi dan ada yang nampak pada tubuh wanita. Zīnah yang nampak adalah bagian tubuh yang nampak secara asalnya seperti kepala, perut, pungung, kaki, tangan, dsb. Kedua, bagian tubuh yang tidak tampak secara asalnya (غير ظاهر بالخلق). Bagian ini adalah bagian tubuh wanita yang oleh Allah diciptakan dalam keadaan tersembunyi. Bagian ini oleh al-Qur’an disebut dengan jaib (جيب-جيوب). Secara bahasa jaib berarti celah yang memiliki dua tingkatan atau lapisan.[20] Dan yang dimaksud dengan jaib pada wanita dengan arti ini adalah anggota tubuh antara dua payudara, bawah payudara dan bawah dua ketiak, dan antara vagina dan pantat. Bagian-bagian inilah yang harus ditutupi oleh seorang wanita mukminah.[21] Inilah yang dijadikan dasar oleh Syahrūr dalam menetapkan batas minimal pakaian wanita.

Selanjutnya Syahrūr membahas tentang makna khimār yang dalam khazanah fiqh klasik diartikan sebagai penutup kepala.[22]

وليضربن بخمرهن على جيوبهن

Secara bahasa khamr berarti penutup. Khamr dinamakan dengan khamr karena ia menutup akal. Dengan demikian khimār tidak hanya berarti penutup kepala, akan tetapi segala sesuatu yang dipakai sebagai penutup. Oleh karena itulah Allah dalam ayat ini memerintahkan wanita untuk menutup “juyūb” yang merupakan perhiasan tersembunyi (zīnah makhfiyah) mereka dan membolehkan pada mereka untuk menampakkannya pada orang-orang tertentu yang disebutkan dalam ayat berikutnya, yaitu suami, bapak, mertua, anak kandung, anak tiri (anak suami), saudara, anak dari saudara laki-laki dan anak dari saudara perempuan. Dengan begitu, menurut Syahrūr, seorang wanita boleh saja menampakkan juyūb mereka dengan telanjang bulat di hadapan mereka yang disebutkan di atas dan dalam juga beberapa orang yang disebutkan dalam ayat selanjutnya. Seandainya ada yang melarangnya untuk bertelanjang, maka larangan tersebut hanyalah karena itu merupakan suatu aib atau malu yang timbul karena adat kebiasaan, bukan karena adanya keharaman.[23] Hal ini karena ayat-ayat ini dalam kategori Syahrūr adalah ayat-ayat yang tidak berkaitan dengan halal dan haram.

Untuk menguatkan kesimpulannya tentang makna “jaib”, Syahrūr kemudian membandingkan ayat tentang zīnah dengan ayat tentang mahram. Ternyata orang-orang yang boleh bagi seorang wanita untuk menampakkan juyūbnya hanya setengah dari orang-orang yang masuk kategori mahram yang terdapat dalam surah an-Nisa’. Ada beberapa mahram yang yang boleh bagi seorang wanita untuk berkhalwat tetapi tidak boleh untuk menampakkan juyubnya, yaitu paman dari pihak ayah (‘ām), paman dari pihak ibu (khāl), anak sepesusuan, saudara sepesusuan, ayah tiri (zauj al-umm), suami anak perempuan (zauj al-bint), suami saudara perempuan (zauj al-ukht).[24]

Inilah yang menguatkan pendapatnya bahwa yang dimaksudkan dengan zinah dalam ayat di atas adalah zīnah al-mawāqi’ (tubuh wanita itu sendiri), bukan perhiasan yang dipakai di tubuh sebagaimana yang dipahami oleh para fuqaha’ selama ini. Karena seandainya yang dimaksud dengan zīnah adalah perhiasan yang dipakai di tubuh, tentulah semua mahram boleh melihatnya.

Selanjutnya Syahrūr membahas orang-orang yang disebutkan dalam ayat selanjutnya yang boleh melihat zīnah wanita.

أو التابعين غير أولي الإربة من الرجال (النور: 31)

Ghair ulī al-irbah yang selama ini dipahami sebagai orang-orang yang impoten atau orang gila, oleh Syahrūr ditafsirkan sebagai para lelaki yang tidak memiliki hasrat seperti dokter atau orang-orang yang profesinya menuntut mereka untuk melihat juyūb wanita. Dan inilah menurut Syahrūr merupakan lapangan ijtihad bagi para mujtahid untuk menentukan siapa saja yang masuk dalam kategori ghair uli al-irbah.[25]

أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء (النور: 31)

Melalui ayat ini Syahrūr menjelaskan tentang makna aurat. Secara bahasa aurat berarti sesuatu yang seseorang malu untuk menampakkannya.[26] Aurat, menurut Syahrūr sama sekali tidak berkaitan dengan masalah halal dan haram. Jika ada seseorang yang berkepala botak dan dia tidak ingin ada orang lain yang melihatnya, maka ia akan memakai wig (rambut palsu) karena ia menganggap kebotakannya itu adalah aurat. Makna seperti ini dapat dilihat pada surah al-Ahzab: 13 dan an-Nur: 58. Aurat dalam ayat-ayat tersebut bermakna perasaan malu atau tidak senang seseorang untuk menampakkan anggota tubuhnya. Dan rasa malu ini bersifat nisbi, relatif, tidak mutlak dan mengikuti adat kebiasaan. Oleh karena itulah maka aurat ini berubah sesuai dengan perubahan tempat dan masa. Sehingga ayat di atas diberlakukan bagi anak-anak yang belum mengetahui mengapa seorang wanita malu bila anggota nampak ketika ia duduk atau berpakaian. Dan itu dapat dimaklumi karena seorang anak sampai pada batas umur tertentu belum mengetahui tentang makna malu dan aib.[27]

Kesimpulan yang serupa juga dikemukakan oleh Hussein Muhammad, seorang kiai feminis dari Cirebon Indonesia, yang melakukan kajian dalam berbagai mazhab mengenai makna dan batasan aurat baik untuk laki-laki maupun perempuan dan juga untuk budak. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa para ulama' klasik memberikan alasan mengenai kebolehan untuk memperlihatkan anggota tertentu bagi wanita merdeka ataupun budak dengan kebutuhan atau kemaslahatan dan menghindari kesulitan.

Dari sini ia mengatakan bahwa hal tersebut memperlihatkan bahwa teks-teks yang terkait dengan aurat adalah tidak berdiri sendiri di ruang hampa yang tanpa pijakan terhadap realitas yang ada dan berkembang. Ungkapan "demi kemaslahatan" (talbiyat al-hājah) dan "menghindari kesulitan" (daf'an li al-haraj) adalah ungkapan yang berkaitan dengan kehidupan riil manusia dan sangat relatif, berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain dari satu tempat ke tempat yang lain.[28] Aurat, menurut Hussein, bukan terminologi agama. Artinya, batasannya bukan ditentukan oleh teks-teks agama. Ia sama dengan aib dan memalukan atau wajar dan sopan yang merupakan terminologi sosial budaya yang sangat relatif dari satu tempat ke tempat yang lain. Perintah menutup aurat adalah dari agama. Tetapi batasan mengenai aurat adalah ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek. Untuk itu, kata Hussein, dalam mnentukan aurat baik laki-laki maupun perempuan diperlukan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap nilai yang berkembang di masyarakat sehingga dalam tingkat tertentu batasan itu bisa diterima oleh sebagian besar komunitas masyarakat. Dalam hal ini, pertimbangan khauf al-fitnah harus dijadikan pertimbangannya.[29]

ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن (النور: 31)

Para ulama’ manafsirkan ayat ini dengan larangan bagi wanita untuk memukulkan kakinya ke tanah supaya suara perhiasan di kakinya didengar orang lain atau larangan memakai alas kaki yang dapat menimbulkan suara ketika berjalan.[30]

Untuk menafsirkan ayat ini, Syahrūr terlebih dahulu mengupas makna lafal “dharaba” secara bahasa. Lafal itu hanya memiliki satu makna asal, akan tetapi kemudian memiliki beberapa makna konotatif. Pertama, berjalan di bumi dengan tujuan untuk berjalan, berdagang, atau bentuk perjalanan lain (an-Nisā: 94, 101, al-Mā’idah: 106). Kedua, membentuk, mengerjakan (Ibrāhim: 45, ar-Rum: 58, al-Furqān: 39). Ketiga, melarang dan menahan dari bekerja atau dari makanan.[31] Dari sinilah ayat itu dapat dipahami, yakni adanya larangan Allah bagi wanita untuk bekerja yang menampakkan seluruh atau sebagian juyūbnya seperti striptease atau tari-tarian lain yang menampakkan juyūb wanita. Akan tetapi tidak berarati bahwa semua tarian itu terlarang. Yang dilarang adalah menampakkan juyūb dengan kehendak sendiri. Dan ini hanya terjadi bila hal itu dijadikan sebagai pekerjaan. Maka dari itu, dalam hudūdullāh menurut Syahrūr pekerjaan yang dilarang bagi wanita itu hanya dua, yaitu melacurkan diri dan striptease. Adapun pekerjaan-pekerjaan lain, maka boleh saja bagi seorang wanita untuk melakukannya sesuai dengan kondisi sosial, zaman, dan kondisi geografis yang melingkupinya.

Selanjutnya Syahrūr menjelaskan bahwa masalah pakaian wanita yang ada dalam surah an-Nūr ini adalah batas minimal (al-had al-adnā) dalam berpakaian. Sedangkan masalah yang lebih sempurna terdapat dalam ayat lain, yaitu dalam surah al-Ahzāb tentang perintah menjulurkan jilbāb. Akan tetapi ayat tersebut tidak berkaitan dengan halal dan haram, tapi berkaitan dengan ta’līmāt yang masuk dalam kategori nubuwwah yang salah satu cirinya adalah diawali dengan kata .(ياأيها النبي)[32]

{يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين} (الأحزاب: 59)

Ayat di atas diawali dengan redaksi Yā Ayyuha an-Nabiyyu (hai Nabi) yang merupakan ciri ayat pengajaran (ta’līm), bukan ayat penetapan syari’at (tasyrī’). Ayat tersebut memberikan pengajaran kepada wanita mukmin untuk memakai pakaian luar yang dinamakan dengan jilbāb. Pakaian luar ini dipakai untuk menghindari adanya gangguan (aża) yang terdiri dari dua, yaitu aża yang bersifat alamiah dan aża yang bersifat sosial. Aża yang alamiah berasal dari kondisi alam seperti tingkat suhu dan iklim. Jadi, seorang wanita boleh memakai pakaian yang sesuai dengan kondisi alam yang bisa menghindarkannya dari aża tersebut. Ia juga boleh memakai pakaian yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya sejauh tidak dijadikan sebagai bahan celaan (aża) oleh orang lain dalam masyarakatnya. Dan kedua aża inilah akibat yang akan ia terima, tidak lebih dari itu. Ia tidak akan mendapatkan pahala maupun dosa dari Allah, karena tidak berkaitan dengan masalah halal dan haram.

Sedangkan batas maksimal pakaian wanita diletakkan oleh Rasulullah dengan sabdanya;

كل امرأة عورة ما عدا وجهها وكفيها[33]

Dengan hadis ini, Nabi membolehkan wanita untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dengan begitu, jika seorang wanita keluar dalam keadaan telanjang bulat, maka ia telah keluar dari hudūd Allah. Sedangkan bila ia keluar dengan tanpa terlihat sedikitpun dari bagian tubuhnya, termasuk wajah dan dua telapak tangan, maka ia telah keluar dari hudūd Rasulullah. Sedangkan taat kepada Allah dan Rasululah dalam masalah hudūd adalah wajib.[34]

E. Penutup

Paparan tentang pakaian wanita dalam Islam menurut Muhammad Syahrūr di atas mengekspresikan betapa berkembangnya pemikiran hukum Islam yang bahkan telah menyentuh pada prinsip-prinsip pemikiran yang selama ini mungkin sangat sakral dan tidak tersentuh. Hanya saja kita juga tidak bisa menerima begitu saja setiap pemikiran yang baru tanpa mengkritisinya.

Pemikiran Syahrūr tentang pakaian wanita memang menawarkan batasan yang baru tentang pakaian wanita dalam Islam yang belum pernah dikemukakan oleh para ahli hukum Islam. Hanya saja, selain kupasan bahasanya yang perlu dipertanyakan keabsahannya, seperti kupasannya tentang kata istiqāmah dan hanīf sebagai dua karakteristik hukum Islam yang ia artikan dengan lurus dan lengkung, juga tentang makna kata “jaib”, hasil pemikiran Syahrūr tentang pakaian wanita dalam Islam di atas nampak mengesampingkan pesan moral yang diangkat oleh Islam ketika mensyari’atkan pakaian dan juga dalam masalah-masalah lain yang bersentuhan dengan sisi sosial dari kehidupan manusia. Selain itu, problem besar yang dialami oleh para pemikir kontemporer dan liberal seperti Syahrūr, seperti yang terjadi dalam tema ini, adalah bahwa produk pemikiran mereka jauh dari sifat applicable yang sebenarnya menjadi ruh dari setiap pemikiran hukum. Karena tanpa sifat itu, maka pemikiran yang ada hanya berada di awing-awang tanpa bisa membumi. Wallāhu A’lam bi aş-şawāb



Catatan Akhir

[1] Kebanyakan ulama’ mengartikan aurat dengan cacat atau keburukan. Walaupun sebenarnya semua anggota tubuh manusia itu sbenarnya adalah baik termasuk aurat, akan tetapi apabila anggota tubuh itu kelihatan oleh orang tertentu, maka keterlihatan itulah yang buruk. Lihat dalam Qurasih Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 161.

[2] Ibn Hazm, al-Muhallā, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), II/242. Sulaimān al-Bājī, al-Muntaqā Syarh al-Muwaţţā’, (Beirut: Dār al-Kitāb al-Islāmī, t.t), II/200. Ibn Qudāmah, al-Mugnī, (Beirut: Dār Ihyā’ at-Turāś al-‘Arabī, t.t), I/834. Muhammad bin Syarf an-Nawāwī, al-Majmū’, (t.tp: al-Munīriyyah, t.t), III/173. al-Bābratī, al-‘Ināyah Syarh al-Hidāyah, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), I/259. Mengenai perdebatan tentang apakah aurat wanita di luar shalat itu adalah seluruh tubuhnya ataukah wajah dan dua telapak tangan tidak termasuk di dalamya lihat M. Nāşiruddīn al-Albānī, Hijāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa as-Sunnah (ttp.: Mansyurah al-Maktabah al-Islami, 1389 H), hlm. 53, Abd al-Halīm Abu Syuqqah, Tahrīr al-Mar’ah fi ‘Aşr ar-Risālah, pent. Mudakir Abdussalam (Bandung: al-Bayan, 1995), hlm. 79.

[3] Muhammad Syahrur, al-Kitāb, hlm. 823.

[4] Ibid.

[5] Andreas Christmann, “Bentuk Teks (Wahyu) Tetap, tetapi Kandungannya (Selalu) Berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam al-Kitāb wa al-Qur’ān karya Muĥammd Syaĥrūr”, pengantar dalam Muĥammad Syaĥrūr, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan Burhanudin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), hlm. 20.

[6] Ibid., hlm. 21

[7] Muhammad Syahrur, al-Kitāb, hlm. 54.

[8] Ibid., hlm. 55.

[9] Ibid., hlm. 90, 112.

[10] Ibid., hlm. 56.

[11] Ibid.

[12] Muhammad Syahrūr, Dirāsāt Islāmiyah fi ad-Daulah wa al-Mujtamā’ (Damaskus: Dār al-Ahāli, 1994), hlm. 184.

[13] Muhammmad Syahrūr, al-Kitāb, hlm. 93.

[14] Muhammmad Syahrūr, Dirāsāt Islāmiyah, ibid.

[15] Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, hlm. 114.

[16] Ibid., hlm. 122

[17] ibid., hlm. 447-449. Kesimpulan Syahrūr bahwa hanīf berarti condong atau lengkung/berubah dan istiqāmah berarti lurus/statis terkesan sangat dipaksakan. Hal ini menandakan bahwa ia lebih dulu memiliki konsep tentang hal ini, dan baru kemudian mencari justifikasinya dalam al-Qur’ān. Bila kita mencari kata hanīf dalam al-Qur’ān dengan jalan istiqrā’, maka kita akan mendapati kata itu sebagian besar di antaranya (dalam surat al-Baqarah: 135, Ali ‘Imrān: 67, 95, al-An’ām: 79, 161, Yūnus: 105, an-Nahl: 120, 123) dikaitkan dengan agama Ibrahim as. (millat Ibrāhīm), kecuali pada surat Yūnus: 105, dan selalu dipertentangkan dengan kata syirk yang menandakan bahwa kata tersebut adalah lawan dari kata syirk, bukan lawan dari kata istiqāmah sebagaimana kesimpulan Syahrūr. Kesimpulan Syahrūr bahwa hanīf adalah sifat dasar alam dengan alasan bahwa kata itu, sebagaimana tertera dalam surat al-An’ām: 79, merupakan hāl (sifat/kondisi) dari fi’l (kata kerja), sedangkan kata kerja yang ada sebelum kata itu adalah kata fiţrah, yang dia artikan dengan “hukum alam” sehingga hanīf adalah sifat dasar alam, juga sangat lemah. Hal ini, karena hāl adalah sifat yang dipakai untuk menerangkan kondisi atau sifat dari ism, bukan fi’l. Dan kata hanīf dalam ayat ini adalah hāl dari Ibrahim atau agama Ibrahim, bukan fiţrah sebagaimana disampaikan Syahrūr. Lihat penjelasan tentang hāl dalam Muşţafā al-Galāyībī, Jāmi’ ad-Durūs al-‘Arabiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Aşriyyah, 2003), hlm. 460.

[18] Muhamad Syahrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān, Qirā’ah Mu’āsiroh, cet. II (Damaskus: Dar al–Ahali, 1990), hlm. 604-605, Nahw Uşūl al-Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmi, Fiqh al-Mar’ah (Damaskus: Dār al-Ahālī, 2000), hlm. 361-362.

[19] Muhammad Syahrur, al-Kitāb, hlm. 605-606, Nahw Uşūl, hlm. 362-363. Ibn al-‘Arabī sebagaimana dikutip Ţāhir bin ‘Āsyūr, membagi zīnah (perhiasan) ini menjadi dua, yakni yang bersifat khilqiyyah (alami) dan muşţana’ah (buatan). Yang masuk kategori pertama adalah sebagian besar dari tubuh wanita terutama wajah, lengan, payudara, betis dan rambut, sedangkan yang masuk kategori kedua adalah perhiasan yang biasanya dipakai wanita seperti emas, celak (make up), dsb. Perhiasan yang nampak (zāhir) dari kategori pertama (khilqiyyah) adalah setiap anggota badan yang akan menyebabkan masyaqqah (keberatan) apabila harus disembunyikan seperti wajah, telapak tangan dan tungkai, sedangkan yang tidak menyebabkan keberatan masuk dalam perhiasan yang tersembunyi (makhfiyyah). Sedangkan perhiasan yang nampak dari kategori kedua (muşţāna’ah) adalah perhiasan yang akan memberatkan wanita jika harus ditinggalkan, yang mudah untuk dihilangkan atau dipakai kembali bila diperlukan dan juga perhiasan yang diletakkan di bagian tubuh yang tidak harus di tutup seperti cincin yang dipakai di tangan. Lihat dalam Muhammad at-Ţāhir bin ‘Āsyūr, Tafsīr at-Tahrīr wa at-Tanwīr, (Tunis, Dār as-Sahnūn, t.t), juz XVIII/206.

[20] Perlu diperhatikan di sini bahwa Syahrur telah melakukan kesalahan yang sangat mendasar dalam mengupas makna kata jaib. Ia mengambil makna jaib dari kata dasar جاب-يجوب yang ‘ain fi’ilnya adalah waw yang memang diantara artinya adalah lubang, tembusan, padahal kata dasar yang benar untuk jaib yang bentuk pluralnya juyub adalah جاب-يجيب yang ‘ain fi’ilnya adalah ya’ yang diantara maknanya adalah saku, kerah baju. Para ahli bahasa dan pengarang kamus bahasa arab juga memberikan peringatan tentang kemungkinan tertukarnya kedua kata dasar ini. Lihat dalam Ibnu Mandzūr, Lisān al-‘Arab (Kairo: ad-Dar al-Misriyah, tt), I/277-278, Abū Fāris, Mu’jam, hlm. 229, 231. al-Fairuz Abādi, al-Qāmus al-Muhiţ (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), I/49. Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, al-‘Ashri, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet, III. hlm. 640 dan713.

[21] Muhammad Syahrūr, al-Kitāb. hlm. 606-607. Mayoritas mufassir dan ahli fiqh mengartiakn jaib ini dengan saku baju yang ada di bagian dada, lihat al-Qurţūbi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), juz XII: 153, Jalal ad-Din as-Suyūţi dan Jalāl ad-Dīn al-Mahalli, Tafsir al-Qur’ān al-Adzīm, (Semarang: Toha Putra, t.t), juz II: 292.

[22] Lihat misalnya Muhammad ‘Alī as-şābūni, Tafsīr Ayāt al-Ahkām, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm. 380, al-Qurţūbi, ibid.

[23] Muhammad Syahrūr, al-Kitāb. hlm. 607.

[24] Ibid. hlm. 608.

[25] Ibid. hlm. 611.

[26] Lihat Ibn al-Mandzūr, Lisān al-Arab, (Kairo: Dar al-Qura, 1996), hlm. 50.

[27] Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, hlm. 611-612

[28] Hussein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet. II, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 63.

[29] Ibid. hlm. 63-64

[30] At-Ţabarī, Tafsīr at-Ţabarī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1405 H), juz XVIII/124, Al-Qurţūbi, Tafsīr. hlm. 158, Jalāl ad-Dīn as-Suyūţi wa Jalāl ad-Dīn al-Mahalli, Tafsīr, hlm. 292, Ibn Kaśīr, Tafsīr, III/286.

[31] Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, hlm. 613. Di sini nampak bahwa Syahrūr sama sekali tidak memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata dharaba yang sangat dipengaruhi oleh huruf jār yang ada setelah kata tersebut dan juga kata setelahnya. Misalnya makna pertama yang disebutkan Syahrūr berlaku pada kata dharaba yang huruf jār setelahnya adalah , sedangkan makna kedua berlaku pada kata dharaba yang huruf jār setelahnya adalah , dan makna ketiga berlaku pada kata dharaba yang huruf jār setelahnya adalah ‘an. Dan Syahrūr sama sekali tidak menyinggung kata dharaba yang huruf setelahnya adalah sebagaimana yang ada dalam ayat yang sedang dibahasnya dan hanya mengambil makna kata dharaba yang huruf jār setelahnya adalah ‘an tanpa alasan tertentu dan melupakan sama sekali bahwa makna kata itu tidak sesuai dengan makna dari kata yang ada dalam ayat yang dibahasnya.

[32] Ibid. hlm. 614.

[33] Hadīś yang semakna diriwayatkan oleh Abū Dāud, no. 3880, kitāb “al-Libās”, bāb “Fīmā Tubdī al-Mar’ah min Zīnatihā”.

[34] Ibid. hlm. 614-615.

DAFTAR PUSTAKA

Ibn ‘Āsyūr, Muhammad at-Ţāhir, Tafsīr at-Tahrīr wa at-Tanwīr, (Tunis, Dār as-Sahnūn, t.t)

Al-Albānī, M. Nāşiruddīn, Hijāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa as-Sunnah (ttp.: Mansyurah al-Maktabah al-Islami, 1389 H)

Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, al-‘Ashri, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003)

Al-Bābratī, al-‘Ināyah Syarh al-Hidāyah, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t)

Al-Bājī, Sulaimān, al-Muntaqā Syarh al-Muwaţţā’, (Beirut: Dār al-Kitāb al-Islāmī, t.t)

Christmann, Andreas, “Bentuk Teks (Wahyu) Tetap, tetapi Kandungannya (Selalu) Berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam al-Kitāb wa al-Qur’ān karya Muĥammd Syaĥrūr”, pengantar dalam Muĥammad Syaĥrūr, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan Burhanudin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004)

Ibn Fāris, Mu’jam, hlm. 229, 231. al-Fairuz Abādi, al-Qāmus al-Muhiţ (Beirut: Dar al-Fikr, 1978)

Al-Galāyībī, Muşţafā, Jāmi’ ad-Durūs al-‘Arabiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Aşriyyah, 2003)

Ibn Hazm, al-Muhallā, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t)

Ibn Kaśīr, Tafsīr Ibn Kaśīr, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H)

Ibn Mandzūr, Lisān al-‘Arab (Kairo: ad-Dar al-Misriyah, tt)

Muhammad, Hussein, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet. II, (Yogyakarta: LKiS, 2002)

An-Nawāwī, Muhammad bin Syarf, al-Majmū’, (t.tp: al-Munīriyyah, t.t)

Ibn Qudāmah, al-Mugnī, (Beirut: Dār Ihyā’ at-Turāś al-‘Arabī, t.t)

Al-Qurţūbi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993)

Aş-Şābūni, Muhammad ‘Alī, Tafsīr Ayāt al-Ahkām, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972)

Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)

As-Suyūţi, Jalal ad-Din dan Jalāl ad-Dīn al-Mahalli, Tafsir al-Qur’ān al-Adzīm, (Semarang: Toha Putra, t.t)

Syahrūr, Muhammad, al-Kitāb wa al-Qur’ān, Qirā’ah Mu’āsiroh, cet. II (Damaskus: Dar al–Ahali, 1990)

---------------------------, Muhammad, Dirāsāt Islāmiyah fi ad-Daulah wa al-Mujtamā’ (Damaskus: Dār al-Ahāli, 1994)

---------------------------, Muhammad, Nahw Uşūl al-Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmi, Fiqh al-Mar’ah (Damaskus: Dār al-Ahālī, 2000)

Syuqqah, Abu, Abd al-Halīm, Tahrīr al-Mar’ah fi ‘Aşr ar-Risālah, pent. Mudakir Abdussalam (Bandung: al-Bayan, 1995)

Aţ-Ţabarī, Tafsīr at-Ţabarī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1405 H)