Jumat, 19 Juni 2009

PERBEDAAN DALAM USHUL FIQH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERBEDAAN DALAM FURU’ FIQHIYYAH


A. Pendahuluan

Sejarah menunjukkan bahwa Islam pernah mencapai sebuah kejayaan dalam peradaban dan keilmuan. Ini dibuktikan dengan perkembangan keilmuan yang sangat dahsyat pada masa-masa tersebut. Salah satu keilmuan yang mencapai puncaknya adalah hukum Islam (fiqh). Munculnya berbagai madzhab dalam bidang fikih menjadi sebuah fenomena yang menunjukkan begitu terbukanya keilmuan Islam pada saat itu sehingga setiap pakar hukum Islam (fuqaha’) memiliki kemampuan dan hak untuk berbeda dengan pakar yang lain, sekalipun guru mereka sendiri. Imam asy-Syafi’i yang merupakan salah satu murid terbaik Imam Malik pun berbeda pendapat dengan gurunya sendiri, dan pada akhirnya pendapat keduanya mewakili dua madzhab yang berbeda. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu murid terbaik dari Imam Syafi’i, dan ia berbeda pendapat dengan gurunya. Pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal pun akhirnya menjadi sebuah madzhab yang mandiri.[1]

Yang perlu dicermati dari fakta di atas adalah bahwa tidak ada yang merasa bahwa pendapatnya adalah yang paling benar, sedangkan pendapat orang lain adalah salah. Bahkan salah satu ungkapan asy-Syafi’i yang sangat masyhur adalah;”Pendapatku benar dan memungkinkan salah, sedangkan pendapat orang lain salah dan memungkinkan benar”.[2]

Hanya saja perbedaan ini pada masa-masa selanjutnya memunculkan perpecahan di antara umat Islam yang sebagian di antaranya masih berlanjut sampai saat ini. Perpecahan yang pada mulanya berawal dari perbedaan dalam bidang fikih bahkan berkembang menjadi perpecahan sosial. Salah satu penyebab terjadinya perpecahan yang berawal dari perbedaan pendapat tadi karena masing-masing pengikut madzhab merasa bahwa pendapat madzhabnya adalah yang paling benar. Dan ini terjadi karena para pengikut madzhab tidak lagi mengikuti metode para imamnya yang mengambil pendapat hukum dari sumber aslinya, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi memilih untuk mengambil pendapat hukum dari kitab-kitab fikih dalam madzhabnya sendiri dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak dapat berubah lagi. Masa inilah yang dikenal dengan masa taklid dan jumud (stagnan).[3] Dan ini berlanjut sampai awal abad dua puluh dengan munculnya para pembaharu pemikiran Islam yang menyerukan ummat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan meninggalkan sikap bermadzhab.

Akan tetapi, di samping ajakan untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak bermadzhab ini mendapat sambutan dari ummat Islam, sikap bermadzhab yang sudah terbentuk selama berabad-abad pun masih tetap ada dan berkembang. Pada akhirnya, baik sikap untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tidak bermadzhab maupun sikap untuk tetap bermadzhab membentuk dua kutub yang saling berlawanan.

Fenomena tersebut mengharuskan adanya sikap yang lebih arif untuk melihat adanya berbagai perbedaan, baik antar para penganut madzhab yang berbeda maupun antara penganut madzhab dengan penganut sikap tidak bermadzhab. Dan salah satu upaya untuk bisa mengetahui sebab adanya perbedaan dalam bidang fikih yang kemudian diharapkan bisa menimbulkan sikap yang arif dalam menghadapi perbedaan tersebut adalah dengan mengetahui metode istimbath hukum dari masing-masing. Karena salah satu penyebab perbedaan dalam bidang furu’ fikih adalah adanya perbedaan dalam ushulnya.

B. Penyebab Perbedaan Pendapat

Perbedaan dalam bidang furu’ pada hakekatnya sudah ada sejak masa sahabat. Akan tetapi perbedaan ini sifatnya sangat terbatas. Oleh karena itu perbedaan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik. Setelah daerah kekuasaan islam meluas dan para sahabat tidak lagi berada pada satu tempat dan menyebar ke beberapa daerah kekuasaan Islam yang baru, maka masing-masing sahabat dengan perbedaan kemampuan dan pengetahuan masing-masing menghasilkan produk ijtihad yang berbeda-beda pula. Inilah yang menambah kawasan perbedaan dalam bidang furu’ semaki meluas. Puncaknya adalah dengan terbentuknya berbagai madzhab dalam bidang fikih yang sebagian di antaranya masih bertahan sampai saat ini.[4]

Karena beragamnya penyebab perbedaan dalam bidang furu’, diperlukan klasifikasi yang jelas untuk mengetahui secara detail penyebab terjadinya perbedaan tadi.

Mushtafa Sa’id al-Khin dalam bukunya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawai’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ berusaha meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan ulama dalam bidang fikih. Dan ia mengklasifikasikan penyebab-penyebab tadi dalam beberapa hal:

  1. Penyebab perbedaan yang bersifat umum
  2. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah
  3. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Ijma’ dan Qiyas
  4. Penyebab perbedaan karena kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dalil-dalil yang diperselisihkan.[5]

Dalam hal ini akan dipaparkan secara singkat dua bagian pertama penyebab perbedaan tersebut sebagai sebuah gambaran tentang adanya pengaruh perbedaan dalam ushul fiqh dan kaidah ushuliyah terhadap perbedaan furu’.

a. Penyebab Perbedaan yang Bersifat Umum

Menurut al-Khin penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam bidang fikih secara umum banyak sekali, akan tetapi yang dianggapnya penting ada beberapa macam.[6] Di antaranya adalah:

1. Perbedaan dalam qira’at.

Perbedaan qira’at dalam pembacaan al-Qur’an merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam bidang fikih. Salah satu contohnya adalah perbedaan ulama’ tentang kewajiban pada kaki ketika berwudhu, apakah dibasuh ataukah diusap. Penyebab perbedaan adalah adanya ayat al-Qur’an yaitu surat al-Ma’idah ayat 6 yang berisi tentang tata cara berwudhu yang oleh sebagian ulama’ (dalam hal ini diwakili Jumhur ulama’) kata-kata arjul (kaki) pada ayat itu dibaca nashab sehingga terbaca wa arjulakum, dan oleh sebagian yang lain (diwakili oleh ulama Syi’ah Imamiyah) dibaca dengan jar, wa arjulikum. Pengaruhnya dalam fikih adalah apabila ayat tadi dibaca dengan nashab, maka dalam berwudhu kaki harus dibasuh, sedangkan apabila dibaca dengan jar, maka dalam berwudhu kaki harus diusap bukan dibasuh.[7]

2. Ketidaktahuan adanya hadis dalam masalah

Pengetahuan para sahabat Nabi SAW dalam masalah hadis tidaklah berada pada satu tingkatan, akan tetapi berbeda-beda. Sebagian mengetahui banyak hadis, sedangkan sebagian yang lain bahkan hanya mengetahui satu atau dua buah hadis saja. Hal ini karena ketika seorang sahabat tidak selamanya mendengar seluruh ucapan Nabi SAW atau menyaksikan seluruh aktifitasnya. Adakalanya dia mendengar sebuah hadis yang tidak didengar oleh sahabat lain. Dan sebaliknya dia juga mungkin tidak mendengar hadis yang diketahui oleh sahabat lain.

Hal inilah yang menjadikan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat, yakni tidak sampainya informasi tentang adanya hadis dalam sebuah masalah.

Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hal ini adalah bahwa Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas pernah berfatwa bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa ‘iddah (tunggu) nya adalah masa yang paling lama antara masa melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Mereka belum menerima informasi tentang fatwa Nabi SAW bahwa masa tunggu wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan.[8]

3. Perbedaan dalam Memahami dan Menafsirkan Teks

Salah satu sebab perbedaan yang lain adalah adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sebuah teks, baik itu berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah. Salah satu contohnya adalah kasus pembagian tanah hasil rampasan perang. Umar ibn al-Khaththab berpendapat bahwa tanah hasil rampasan perang itu tetap berada di tangan pemiliknya dan dalam pemeliharaannya. Hanya saja, tanah tadi dikenai pajak yang dapat dipakai untuk kepentingan ummat Islam di setiap masa dan generasi.

Pandangan Umar yang seperti ini didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfal dan ayat 6 – 10 surat al-Hasyr. Umar memahami kandungan ayat-ayat tadi bahwa harta rampasan perang yang tidak bergerak tidak dibagikan pada tentara perang, akan tetapi dikuasai oleh negara dan dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Sedangkan para sahabat yang lain berpendapat bahwa tanah rampasan perang sebagai mana barang bergerak, juga harus dibagikan layaknya harta rampasan perang yang lain. Pendapat kedua ini juga didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfal serta tindakan Rasulullah yang juga pernah membagi tanah hasil rampasan perang. Ayat yang dipakai oleh Umar untuk mendukung pendapatnya, menurut para sahabat yang lain, adalah berbicara tentang dua hal yang berbeda, yaitu harta ghanimah dan fai’. Dan kedua macam harta ini tetap dibagikan pada para tentara perang tidak seperti keputusan yang dibuat Umar.[9]

4. Adanya lafadz yang musytarak

Dalam bahasa Arab terdapat berbagai bentuk kata yang menunjukkan pada makna tertentu. Salah satunya adalah kata atau lafadz musytarak. Musytarak berarti sebuah kata yang memiliki dua makna atau lebih, dan terkadang saling berlawanan, misalnya kata al-jun yang bisa berarti putih dan juga hitam. Dan dalam al-Qur’an dan al-Hadis juga terdapat beberapa lafadz yang musytarak. Dan ini menhjadi salah satu sebab munculnya perbedaan pendapat di antara para ulama. Misalnya adalah kata al-qur’u yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 228. Kata tersebut memiliki makna ­haidh dan juga bermakna suci. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa wanita-wanita yang dicerai suaminya, maka ‘iddah (masa tunggu)-nya adalah tiga kali quru’. Dan semua ulama sepakat akan hal ini. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna quru’ yang adal dalam ayat terssebut. ‘Aisyah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, Malik. Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lain mengartikan qur’ dalam ayat tersebut bermakna suci. Artinya, mereka berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya memiliki masa tunggu (‘iddah) tiga kali suci. Sedangkan Abu Bakr, Umar, Utsman dan sebagian Abu Hanifah berpendapat bahwa qur’ dalam ayat tersebut berarti haidh. Artinya, mereka berpendapat bahwa masa tunggu wanita yang ditalak adalah tiga kali haidh.[10]

5. Adanya pertentangan dalil (ta’arudh al-adillah)

Salah satu sebab lain yang menjadikan terjadinya perbedaan pendapat antar ulama adalah adanya pertentangan antar dalil (ta’arudh al-adillah) yang menjadikan satu ulama mengunggulkan satu dalil yang menurut ulama’ lain justru merupakan dalil yang lemah. Pertentangan antar dalil yang sebenarnya hanya ada pada pikiran para ulama’ memang berusaha untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. Hanya saja, masing-masing ulama memiliki cara yang berbeda dalam mencari jalan keluarnya. Ini pula yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat.

Contohnya adalah perbedaan di antara ulama tentang tata cara tayammum. Madzhab Hambali berpendapat bahwa tayammum cukup dilakukan dengan sekali tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan.[11] Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ammar binYasir yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan contoh kepadanya dalam melakukan tayammum. Nabi mengusapkan tangannya ke tanah dan memakainya untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan.[12] Sedangkan Madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan bahwa tayammum dilakukan dengan dua kali tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan.[13] Dasar yang dipakai adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda:”Tayammum itu dengan dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai ke siku.”[14]

Perbedaan tersebut terjadi karena adanya dua dalil yang berbeda dan nampak bertentangan dan masing-masing ulama menguatkan satu hadis yang menurut ulama lain justru lemah.

b. Penyebab Perbedaan karena Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Kaidah ushuliyah merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan di antara para ulama. Sebagian dari kaidah-kaidah tersebut berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagian lagi berkaitan dengan al-Qur’an saja, dan sebagian lain berkaitan dengan as-Sunnah saja. Di antara kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan al-Qur’an saja yang menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan adalah perbedaan ulama tentang nama al-Qur’an. Apakah al-Qur’an merupakan nama untuk kandungan isinya saja ataukah merupakan nama untuk isi dan susunan katanya.

Sebagian ulama –dalam satu riwayat disebutkan bahwa ini adalah pendapat Abu Hanifah- berpendapat bahwa kata al-Qur’an hanya dipakai untuk menyebut isi kandungan maknanya saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’an adalah nama untuk susunan kata dan maknanya sekaligus.

Implikasi perbedaan dalam hal ini pada bidang fikih adalah adanya perbedaan pendapat tentang kebolehan shalat dengan bahasa selain Arab. Abu Hanifah -ulama yang diriwayatkan menganut pendapat pertama- membolehkan shalat dengan membaca al-Fatihah dengan selain bahasa Arab, karena yang terpenting bukan lah bahasa yang dipakai al-Qur’an akan tetapi makna yang akan dicapainya. Sedangkan jumhur ulama –sebagai penganut pendapat yang kedua- berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah harus dengan bahasa Arab karena yang dinamakan al-Qur’an bukan hanya maknanya saja, akan tetapi juga susunan kataya yang berupa bahasa Arab.[15] Implikasi yang lain adalah perbedaan tentang tarjamah al-Qur’an. Bagi penganut pendapat pertama tarjamah al-Qur’an memiliki status sama dengan al-Qur’an seperti tidak boleh disentuh dan dibaca oleh orang yang dalam keadaan junub, dsb. Sedangkan penganut pendapat kedua menganggap bahwa tarjamah al-Qur’an bukanlah al-Qur’an, akan tetapi tarjamah makna al-Qur’an.

Kaidah lain yang berkaitan dengan al-Qur’an adalah tentang qira’ah syadzdzah, yaitu bacaan al-Qur’an yang tidak diriwayatkan melalui jalur mutawatir. Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qira’ah syadzdzah. Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi berpendapat bahwa qira’ah syadzdzah dapat diapaki sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Sedangkan madzhab Syafi’i berpendapat tentang ketidakabsahan qira’ah syadzdzah sebagai salah satu dalil penetapan hukum.[16]

Implikasinya pada furu’ fiqhiyyah ada beberapa hal, diantaranya adalah apabila seseorang tidak berpuasa pada bulan ramadhan secara berturut-turut dikarenakan suatu alasan, maka apakah dia harus menqadha puasa tadi secara berurutun juga ataukah boleh secara terpisah-pisah.

Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi mengatakan bahwa dia harus menqadhanya secara berurutan pula. Dasarnya adalah adanya qira’ah syadzdzah yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b yang menambahkan kata-kata mutatabi’at dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang berbunyi: “Fa ‘Iddatun Min Ayyam Ukhar”. Sedangkan madzhab Syafi’i membolehkan menqadha puasa tersebut dengan terpisah-pisah karena menganggap bahwa qira’ah Ubay bin Ka’b tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil.[17]

Sedangkan kaidah yang berkaitan dengan as-Sunnah terdapat banyak sekali. Diantaranya adalah tentang kehujjahan hadis mursal yaitu hadis yang terputus salah satu mata rantai perawinya di kalangan sahabat.[18] Asy-Syafi’i tidak dapat menerima hadis mursal sebagai sebuah dalil karena dianggap sudah cacat, sedangkan Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai dalil penetapan hukum karena menganggap bahwa tidak mungkin seorang tabi’in berbohong dalam meriwayatkan sebuah hadis. Jadi, terputusnya rantai periwayatan pada kalangan sahabat tidak menjadikan cacat pada status hadis tersebut.[19]

Implikasinya pada bidang furu’ fikih banyak sekali, diantaranya adalah tentang batalnya wudhu karena bersentuhan dengan yang berlainan jenis. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mencium salah satu isterinya dan kemudian melakukan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.[20] Sedangkan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan itu membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah al-Qur’an ayat 6 surat al-Ma’idah. Sedangkan hadis yang dipakai oleh Madzhab Hanafi sebagai dalil tidak dapat diterima oleh asy-Syafi’i karena hadis tersebut adalah mursal.[21]

C. Urgensi Pengetahuan akan Sebab Perbedaan dalam Konteks Kekinian

Pengetahuan akan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat untuk saat ini sangatlah dibutuhkan. Terjadinya banyak benturan di masyarakat diantaranya adalah karena informasi yang sampai pada mereka adalah tentang adanya perbedaaan semata, tidak tentang sebab terjadinya perbedaan. Hal ini pada akhirnya menjadikan sebagian besar dari mereka tidak bisa memahami perbedaan sebagai sebuah perbedaan metode pemahaman atas teks. Perbedaan pendapat dalam fikih dianggap sebagai perbedaan keyakinan yang menjadikan sebagian mereka berhak untuk memberikan label “sesat” pada sebagian yang lain.

Pada kasus di Indonesia misalnya, sudah menjadi bukan rahasia rahasia lagi bahwa ada sebagian masyarakatnya yang melaksanakan tarawih di bulan ramadhan dengan 8 raka’at, dan ada sebagian yang melakukannya dengan 20 raka’at. Dalam melaksanakan shalat, ada yang mengeraskan bacaan basmalah dan ada yang tidak mengeraskannya atau bahkan tidak membacanya sama sekali. Perbedaan seperti ini, di masyarakat akar rumput sering menimbulkan permasalahan, menjadikan salah satu kelompok tidak bersedia shalat berjama’ah atau bekerja sama dengan kelompok lain yang tidak sependapat. Perbedaan tersebut tidak lagi menjadi perbedaan furu’ fiqhiyyah, akan tetapi dianggap sebagai perbedaan ideologi, akidah dan keyakinan yang menjadikan sebagiannya berhak “menyesatkan” sebagian yang lain.

Oleh karena itu sudah menjadi tugas kalangan intelektual di masing-masing organisasi keagamaan sosial di Indonesia untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang praktek-praktek keagamaan yang ada, memberikan informasi, keilmuan dan pengetahuan benar dengan melihat setiap masalah dari sisi yang berbeda-beda dan beragam sehingga memungkinkan adanya pemahaman dan sikap yang arif dalam menghadapi perbedaan pendapat.

Masyarakat Indonesia yang homogen menuntut setiap orang mengetahui dasar pemikiran dan pemahaman orang lain dan bisa mensikapinya dengan lebih baik, tidak mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya dan selalu luput dari orang lain. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bisa bergaul, berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda pendapat termasuk dalam pemahaman keagamaan. Dan pengetahuan dan pemahaman tentang sebab perbedaan merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan sebuah masyarakat masa kini yang bisa saling memahami adanya perbedaan, saling menghormati dan bekerja sama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddini, Shifah Shalah an-Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996)

Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

Al-Asyqar, ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Aljazair: Qashr al-Kitab, t.t)

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t)

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t)

Khin, Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996)

Mubaraok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)

Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ar-Razi, Fakhruddin, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t)

Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

------------------, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000)

Az-Zaila’I, Nash bar-Rayah. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Az-Zamakhsayari, al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)

Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986)



*) Penulis adalah Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta

[1] Penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi ilmiah yang ada pada masa itu dan ciri-ciri perkembangan hukum Islamnya lihat pada ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Aljazair: Qashr al-Kitab, t.t), hlm. 86-108.

[2] Al-Albani mengumpulkan pendapat para imam madzhab tentang kemungkinan kesalahan pendapat pribadi mereka dan keharusan berpegang pada sumber utama hukum Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tidak bersikap fanatis pada madzhab tertentu. Lihat dalam Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shifah Shalah an-Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996), cet. 2, hlm. 46-55.

[3] ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh, ibid. hlm. 109 dst.

[4] Lihat juga penjelasannya dalam Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. 2, hlm. 67 dst.

[5] Lihat Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996), cet. 6, hlm. 38 dst

[6] al-Khin menyebutkan ada delapan sebab, yaitu 1. Perbedaan dalam qira’at, 2. Tidak adanya informasi adanya hadis dalam masalah, 3. Ragu terhadap keabsahan hadis, 4. Berbeda dalam memahami dan menafsirkan teks, 5. Adanya lafadz yang musytarak (ambivalen), 6. Pertentangan antar dalil 7. Tidak adanya dalil dalam masalah dan 8. Berbeda dalam kaidah ushuliyah. Lihat ibid.

[7] lihat ath-Tahabari, Tafsir ath-Thabari, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000), X/52., al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), VI/ 92 dst., az-Zamakhsayari, al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t) II/ 326.

[8] Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), VI, hlm. 182-183., Muhammad Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 48.

[9] Ibid. hlm. 65.

[10] Lihat Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV, hlm. 178-198, Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), II, 256-257, al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), III, hlm. 194-195.

[11] Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t), VII/244.

[12] H.R. Bukhari dan Muslim no. 368.

[13] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), I/70

[14] Hadis-hadis tentang hal ini lihat dalam az-Zaila’I, Nash bar-Rayah. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 150 dst..

[15] Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 380. Lihat juga dalam Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), juz I/423.

[16] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh,I/426.

[17] Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 395, Ibn Qudamah, al-Mughni, III/136, asy-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IV/198.

[18] Lihat definisi hadis mursal dan perbedaan pendapat dalam hal ini dalam al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), I/203, asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 64.

[19] Mushthafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf, hlm. 398.

[20] Hadis ini diriwayatkan oleh Ibrahim at-Taimi dari ‘Aisyah r.a dan Ibrahim at-Taimi diketahui belum pernah mendengar (meriwayatkan) hadis dari ‘Aisyah. Ibid. 408.

[21] Ibid. hlm. 407-408.

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Dr.MCD
    Borgata Hotel Casino & Spa has over 인천광역 출장마사지 2,000 제주도 출장안마 rooms from 2000 rooms 서산 출장안마 to 60,000 강원도 출장안마 square feet of entertainment. The full-service spa has massage rooms, 영주 출장안마

    BalasHapus